Bab I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kami mengajak pembaca untuk menjelajahi seluruh
wilayah etika. Pertama dibahas tema tema klasik seperti: hati nurani,
kebebasan, tanggung jawab, dan keutamaan. Kemudian dibicarakan pula tentang
beberapa teori besar dari sejarah filsafat moral: hedonisme, eudemonisme,
utilitarianisme, dan deontologi. Akhirnya, disajikan sekedar pengantar pada
etika terapan, artinya, etika yang menyototi bidang bidang khusus seperti dunia
kedokteran, praktik bisnis, lingkungan hidup, dll.
Dalam makalah ini Kami membahas tentang hati nurani sebagai
penomenal moral, kesadaran dan hati nurani retrosfektif dan hati nurani
rosfektif hati nurani bersipat personal dan supersonal, beberapa masalah
khusus tentang hati nurani dan pembinaan hati nurani. Hati nurani dan super ego
pun kami bahas.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hati Nurani sebagai Fenomena
Moral
1. Pendekatan naratif
Setiap manusia mempunyai pengalaman tentang hati nurani dan
mungkin pengalaman itu merupakan perjumpaan paling jelas dengan moralitas
sebagai kenyataan.dalam suatu pendekatan h yang berbeda naratif kita mulai dengan
memandang tiga contoh yang berbeda tentang pengalaman hati nurani yang dipilih
dengan cara demikian,sehingga dapat dipakai dalam analisis selanjutnya.
· seorang hakim
telah menjatuhkan vonis dalam suatu perkara pengadilan yang penting.malam sebelumnya
ia didatangi oleh wakil dari pihak terdakwa.orang itu menawarkan sejumlah besar
uang,bila si hakim bersedia memenangkan pihaknya.Hakim yakin bahwa terdakwa itu
bersalah.bahan bukti yang telah dikumpulkan dengan jelas menunjukkan hal itu.
Tapi ia tergiur oleh uang begitu banyak, sehingga tidak bisa lain daripada
menerima penawaran itu. Ia telah memutuskan terdakwa tidak bersalah dan
membebaskan dari segala tuntutan hukum.Kejadian ini sangat menguntungkan untuk
dia. Dan sekarang ia sanggup menyekolahkan anaknya ke luar negeri dan membeli
rumah yang sudah lama diidam-idamkan oleh istrinya. Namun demikian,ia tidak
bahagia dalam batinnya ia merasa gelisah. Ia seolah-olah “malu” terhadap
dirinya sendiribukan karena ia takut kejadian itu akan diketahui oleh
atasannya. Selain anggota keluarga terdekat tidak ada yang tahu. Prosedurnya
begitu hati hati dan teliti, sehingga kasus suap itu tidak akan pernah
diketahui oleh orang lain. Namun, kepastiaan ini tidak bisa menghilangkan
kegelisahannya. Baru kali ini ia menyerah terhadap godaan semacam itu. Sampai
swekarang ia selalu setia pada sumpahnya ketika dilantik dalam jabatan yang
luhur ini. Mengapa kali ini ia sampai terjatuh ? ia merasa marah dan mual
terhadap dirinya sendiri.
2. Kesadaran dan Hati Nurani
apa itu hati nurani ? secara sangat umum dapat dikatakan,
hati nurani adalah “instansi” dalam diri kita yang menilai tentang moralitas
perbuatan perbuatan kita secara langsung, kini dan disini. dengan hati
nurani” kita maksudkan penghayatan tentang baik atau buruk berhubungan dengan
tinkah laku konkrit kita. Hati nurani ini memerintahkan atau melarang kita
untuk melakukan sesuatu dan disini. Ia tidak berbicara yang umum, melainkan
tentang situasi yang sangat konkrit tidak mengikuti hati nurani ini berarti
menghancurkan integritas pribadi kita dan menghianati martabat terdalam kita.
Dapat dikatakan juga, hati nurani adalah kesadaran moral “ instansi” yang
membuat kita menyadari baik atau buruk ( secara moral ) dalam prilaku kita dan
karena itu dapat menyuluhi dan membimbing perbuatan perbuatan kita dibidang
moral. Untuk mengerti hal ini perlu kita bedakan antara pengenalan dan
kesadaran.
Untuk
menunjukan kesadaran, dalam bahasa latin dan bahasa bahasa yang diturunkan dari
padanya, dipakai kata conscieentia. Kata itu berasal dari kata kerja scire (
mengetahui ) dan awalan con ( bersama dengan, turut ).
Dengan demikian coscieentia sebenarnya berarti “ turut
mengetahui” dan mengingatkan kita pada gejala “ penggandaan “ yang disebut tadi
bukan saja saya saya melihat pohon itu, tapi saya juga “ turut mengetahui”
bahwa sayalah yang melihat pohon itu.kata coscieentia yang sama dalam
bahasa latin ( dan bahasa bahasa yang serumpun dengannya) digunakan juga untuk
menunjukan “ hati nurani”. Dalam hati nurani berlangsung juga penggandaan yang
sejenis. Hati nurani merupakan semacam “ saksi “ tentang perbuatan perbuatan
moral kita.
3. Hati nurani retrospektif
dan hati nurani prospektif
Hati nurani retrospektif memberi penilaian tantang perubahan
perubahan yang telah berlangsung dimasa lampau. Hati nurani ini seakan akan
menolleh kebelakang dan menilai perbuatan perbuatan yang sudah lewat. Hati
nurani dalam arti retrospektif menuduh atau mencela, bila perbuatannya jelek;
dan sebaliknya, memuji atau membeli rasa puas bila perbuatannya dia anggap
baik.
Bila hati nurani menghukum dan menuduh kita, kita merasa
gelisah dalam batin dikatakan dalam bahasa inggris kita mempunyai a bad
conscience . bila kita telah bertingkah laku baik, kita mempunyai a good
conscience atau a clear conscience.
Beberapa filsuf berpendapat bahwa hati nurani dalam keadaan
gelisah ( a bad conscience ) merupakan penomena yang paling mendasar. Hannah
arendt ( 1906- 1975 ), hati nurani dalam keadaan tenang hanya berarti
tiadanya hati nurani yang gelisah. Hati nurani yang tenang dengan demikian
dihasilkan karena dibebaskan dari segala tuduhan.
Hati
nurani prosfektif melihat kedepan dan menilai perbuatan perbuatan kita yang
akan datang. Dalam hati nurani prosfektif ini sebenarnya terkandung semacam
ramalan. Hati nurani passti akan menghukum kita, andai kata kita melakukan
perbuatan yang salah.
Pembedan antara hati nurani retrospektif dan hati nurani
prosfektif ini bisa menampilakan kesan seolah olah hati nurani hanya menyangkut
masa lampau atau masa depan. Hati nurani dalam arti yang sebenarnya justru
menyangkut perbuatan yang sedang dilakukan kini dan disini. Ketika sihakim
menerima uang suap ( contoh )ia sudah mengalami bahwa perbuatannya tidak
terpuji. Namun,kemudian hati nurani tidak diam, tapi sebaliknya justru
bertambah lantang dengan menuduh dia serta mengganggu ketenangan batinnya.
Jadi, keadaan gelisah itu berawal dari perbuatannya.
4. Hati Nurani Bersifat
Personal dan Suprapersonal
Hati nurani bersifat personal, artinya selalu berkaitan erat
dengan pribadi bersangkutan. Hati nurani diwarnai oleh keperibadian kita. Hati
nurani akan berkembang juga bersama dengan perlkembangan seluruh kepribadian
kita. Hati nurani bersifat personal, yaitu hati nurani hanya berbicara atas
nama saya. Hati nurani hanya memberi penilaiannya tentang perbuatan saya
sendiri.
Disamping aspek personal, hati nurani menunjukan juga suatu
aspek supra personal. Selain bersifat pribadi, hati nurani juga seolah olah
melebihi pribadi kita, seolah olah merupakan instansi diatas kita. Terhadap
hati nurani, kita seakan akan menjadi “ pendengar “.kita seakan akan mengambil
sikap preseftif dan membuka diri terhadap suara yang datang dari luar. Karena
asfek supra natural itu, orang beragama kerapkali mengatakan bahwahati nurani
adalah suara Tuhan atau bahwaTuhan berbicara melalui hati nurani.
5. Beberapa Masalah Khusus
tentang Hati Nurani
a. Hati nurani termasuk
perasaan , kehendak, atau rasio ?
Dalam
sejarah filsafat sering dipersoalkan apakah hati nurani termasuk perasaan,
kehendak, atau rasio. Dalam filsafat dewasa ini sudah terbentuk keyakinan
bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dalam berbagai fungsi atau daya. Dalam hati
nurani pula memainkan peranan baik perasaan atau kehendak maupun juga rasio
tapi terdapat suatu tendensi kuat dalam filsafatuntuk mengakui bahwa hati
nurani secara khusus dikaikan secara rasio. Mengemukakan putusan jelas
merupakan fungsi dari rasio. Tetapi dalam hal ini perlu dibedakan antara dua
macam rasio: rasio teoretis dan rasio praktis. Rasio teoretis memberi jawaban
atas pertanyaan. Rasio teoretis bersifat abstrak, maka rasio praktis justru
bersifat konkret. Hati nurani juga sangat konkret sifatnya dan mengatakan
kepada kita apa yang harus dilakukan kini dan disini. Putusan hati nurani “
mengkonkretkan “ pengetahuan etis kita yang umum. Hati nurani seolah olah
merupakan jembatan yang menghubungkan pengetahuan etis kita yang umum dengan
prilaku konkret.
Biarpun putuswn hati
nurani bersifat rasional, itu tidak berarti bahwa ia mengemukakan suatu
penalaran logis ( reasoning ). ucapan hati nurani pada umumnya bersifat
intuitif, artinya langsung menyatakan: ini baik baik dan terpuji atau itu buruk
dan tercela. Pemikiran intwitif berlangsung “ bagaikan tembakan “ :langsung,
satu kali tembak, tidak menurut tahap tahap perkembangan seperti dalam sebuah
argumentasi. Namun demikian, kadang kadang putusan hati nurani bisa memiliki
sifat sifat yang mengingatkan kita pada suatu argumentasi, terutama hati nurani
prosfektif.
b. Hati Nurani sebagai Hak
Hati nurani merupakan hak dasar
bagi setiaap manusia. Tidak ada orang lain yang berwenang untuk campur tangan
dalam putusan hati nurani seseorang.
Bila
dalam deklarasi universal tentang hak asasi manusia ( 1948 ) disebut juga “ hak
atas kebebasan hati nurani “(pasal). Konsekuensinya bahwa negara harus
menghormati putusan hati nurani para warganya, bahkan kalau kewajiban itu
menimbulkan konflik hak dari conscientious objektor: orang yang
berkeberatan memenuhi suatu kewajiban sebagai warga negara karena alasan hati
nurani contohnya terkenal adalah conflik yang sering dialami di negara negara
yang mempraktekan wajib militer. Disana tidak jarang dan orang muda yang
menolak untuk memenuhu wajib militer dengan alasan hati nurani.
Dalam
kasus semacam itu negara menghadapi dilema yang tidak mudah: menjalankan tugas
tugas pertahanan nasional dengan baik atau menghormati hati nurani warga
negara.
c. Hati nurani adalah
norma moral terakhir
Hati nurani mempunyai
kedudukan kuat dalam hidup moral kita. hati nurani adalah norma terakhir untuk
perbuatan kita. Kita selalu mengikuti hati nurani dan tidak pernah boleh kita
lakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Dalam arti itu hati
nurani mengikat kita secara mutlak. Putusan hati nurani yang merupakan norma
moral terakhir bersifat subjektif. Dan belum tentu perbuatan yang
dilakukan atas desakan hati nurani adalah baik juga secara objektif bisa
saja hati nurani menyatakan sesuatu adalah baik, bahkan wajib dilakukan padahal
secara objektof perbuatan itu buruk.
Mungkin
pembunuhan mahatma gandhi atau martin luther king pun beranggapan melakukan
suatu perbuatan baik yang diperintahkan hati nurani. Padahal, semua orang yang
berfikiran sehat akan menolak pembunuhan pembunuhan itu sebagai kejahatan
besar.
Tapi
yang sebenarnya diungkapkan oleh hati nurani bukan baik burkunya perbuatan itu
sendiri, melainkan bersalah tindaknya sipelaku.
Manusia
adalah orang yang jidup baik ( secara moral ) bila ia selalu hidup menurut hati
nuraninya. Manusia bukan saja wajib untuk selalu mengikuti hati nuraninya,ia
wajib juga mengembangkan hati nuraninya dan seluruh kepribadian etisnya
sampai menjadi matang seimbang.
6. Pembinaan hati nurani
Ilmu pengetahuan empiris mempunyai sebagai cita cita : objektifitas sempurna,
keadaan yang mereka, subjektifitas sama artinya dengan kurang serius, tidak
bisa diandalkan sewenang wenang. Karena sifat subjektif itu mereka tegaskan
hati nurani juga mudah disalahgunakan. Hati nurani bisa menjadi kedok untuk
melakukan rupa rupa kejahatan.
Etika
sebagai ilmu tidak menjadi mubajir dengan adanya hati nurani. Etika harus
berusaha keras untuk mencari kepastian ilmiah dan objektif dalam problem
problem yang dihadapi.
Adanya banyak tipe hati nurani: ada yang halus dan jitu, ada
pula yang longgar dan kurang tepat, bahkan ada yang tumpul. Dalam fisikiatri
dibicarakan tentang moral insanity: kelainan jiwa yang membuat orang seolah
olah buta dibidang etis, sehingga tidak bisa membedakan baik dan buruk.
Orang
yang menderita moral insyanity perlu diobati.
Anak
ytang didik dalam keluarga pencuri misalnya, hampir tidak mungkin akan
mempunyai putusan hati nurani yang baik tentang hak milik.
Hanya
hati nurani yang didik dan dibentuk dengan baik, dapat memberikan penyuluhan
tepat dalam hidup moral kita.
Tapi pendidikan akal budi jauh lebih gampang untuk
dijalankan. Metode metode yang harusnya digunakan untuk mencapai hasil optimal,
dalam mendidik akal budi lebih jauh jelas. Pendidikan disekolah terutama
bertujuan mengembangkan dan mendidik akal budi anak anak. Disekolah mendidik
terutama berarti mencerdaskan.
Pada mulanya anak kecil hanya bisa dilatih untuk
menyesuaikan diri secara lahiriah dengan kehendak para pendidiknya. Ketakutan
akan sanksi yang mewarnai permulaan kehidupan moral, lama kelamaan harus
diganti dengan cinta dan nilai nilai. Kewajiban terhadap hukum moral mengikat
hidup semua orang.
Pendidikan hati nurani seolah seolah berjalan dengan
sendirinya, bilamana si anak diliputi oleh suasana yang sehat serta luhur dan
ia melihat bahwa orang disekelilingnya memenuhi kewajiban mereka dengan seksama
dan mempraktekan keutamaan keutamaan yang mereka ajarkan.
2.
Hati nurani dan “superego”
Seringkali hati nurani dikaitkan dengan “ superego”, bahkan
tidak jarang kedua hal disamakan begitu saja. Istilah “superego” berasal dari
sigmun frued ( 1856-1939), dokter ahli syaraf austria yang meletakan dasar
untuk psikoanalisis. Ia mengemukakan istilah itu dalam rangka teorinya
tentangstruktur kepribadian manusia.
1. Pandangan frued tentang
struktur kepribadian
Tubuh kita mempunyai struktur tertentu: ada kepala, kaki,
lengan, dan batang tubuh. Psike kita juga mempunyai suatu struktur, walaupun
tentu tidak terdiri dari bagian bagian dalam ruang. Struktur psikis manusia
menurut frued meliputi tiga instasi atau tiga sistem yang berbeda. Ketiga
instansi ini massing masing adalah id, ego, superego.
a. Id
Frued pernah mengatakan bahwa hidup psikis kita ibarat
gunung es yang terapung apung di laut. Hanya puncaknya tampak diatas permukaan
air, tapi sebagian gunung es itu tidak kelihatan, karena terpendam dilaut.
Hidup psikis manusia juga untuk sebagian besar tidak tampak atau lebih tepat
lebih sadar, namun tetap merupakan kenyataan yang harus diperhitungkan.Frued
mengintroduksikan kedalam psikolog paham “ketaksadaran dinamis”, artinya,
ketaksadaran yang mengerjakan sesuatu dan tidak tinggal diam.
Pada permulaan psikolog modern hidup psikis disamakan begitu
saja dengan kesadaran. Hal itu diwarisi oleh psikologi filsuf prancis Rene
Descartes (1596-1650) yang dijiluki “bapak filsafat modern”.. Bagi Descartes,
kegiatan psikis yang tak sadar merupakan satu kontradiksi, karena hidup psikis
sama saja dengan kesadarn.
Frued memakai istilah “Id” untuk menunjukan ketaksadaran
itu. Id adalah lapisan yang palling fundamental dalam susunan psikis seorang
manusia. Id meliputi segala sesuatu yang bersifat impersonal atau anonim, tidak
disengaja atau tidak disadari, dalam daya daya yang mendasar yang menguasai
kehidupan psikis manusia.justru karena itu frued memilih istilah “id” (atau
bahasa aslinya “Es”) yang merupkan kata ganti orang neutrum. Bagi frued adanya
Id telah terbukti terutama dengan tiga cara. Pertama, faktor psikis yang paling
jelas membuktikannya adanya Id dalam mimpi. Bila bermimpi, sipemimpi sendiri
seolah- olah hanya merupakan penonton pasif.
Kedua, adanya ID terbukti juga, kita mempelajari perbuatan
perbuatan yang pada pandangan pertama rupanya, remeh saja dan tidak punya arti,
seperti perbuatan keliru, salah ucap, “keseleo lidah”, lupa dan sebagainya.
Ketiga alasan paling penting bagi frued untuk menerima adanya ketaksadaran
adalah pengalamannya dengan pasien pasien neurosis.
Pada awal mula, hidup manusia terdiri dari psikis saja. Pada
janin dalam kandungan ibunya dan pada bayi yang baru lahir saja, hidup psikis
untuk serratus persen sama dengan Id. Walaupun faktor faktor tak sadar
memainkan peranan besar dalam neurosis, perlu ditekankan bahwaid atau
ketaksadaran merupakan satu keyakinan psikologis yang normal dan universa.
Hidup psikis manusia didasarkan atas Id itu.
b. Ego
Aktivitas ego bisa sadar, prasadar maupun tak sadar. Tapi
untuk sebagian besar Ego bersifat sadar. Sebagai contoh aktivitas sadar boleh
disebut: persepsi lahiriah (saya melihat pohon disitu), presepsi batiniah (saya
merasa sedih) dan proses intelektual. Sebagai contoh tentang tentang aktivitas
prasadar dapat dikemukakan fungsi ingatan (saya mengingat kembali nama yang
tadi saya lupa).dan aktivitas tak sadar dijalankan oleh Ego melalui mekanisme
mekanisme pertahanan (defence mechanisms). Misalnya, orang yang dalam hati
kecilnya sangat takut dengan kenyataan berlagak gagah berani. Ego dikuasai oleh
“prinsip realitas” (the raliti principle).
Jadi prinsip kesenangan dari Id disini diganti dengan
prinsip realitas. Adalah tugas Ego (bukan Id dan naluri- naluri) untuk
mempertahnkan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan alam
sekitar, lagi pula untuk memecahkan konflik konflik dengan realitas dan
konflik konflik dengan keinginan keinginan yang tidak cocok satu sama lain. Ego
juga mengontrol apa yang mau masuk kesadaran dengan kata lain mengadakan
sintesis psikis.
c. Superego
Superego adalah
instansi terakhir yang dikemukakan frued. Lama kelamaan ia yakin bahwa
disamping Id dan Ego masih harus diterima suatu instansi lain yang seolah olah
bertempat diatas Ego (dan karena itu namanya: superego), sebab bersifat kritis
terhadapnya bahkan bisa sampai menghantam. Superego mempunyai tempat khusus
antara Ego dan Id. Superego ini termasuk ego, dan seperti Ego ia mempunyai
susunan psikologis lebih kompleks, tetapi ia juga mempunyai kaitan sangat erat
dengan Id. Bagi ego sama penting mempunyai hubungan baik dengan superego
seperti dengan Id.
Superego adalah instansi yang melepaskandiri dari ego
dalam bentuk observasi diri, kritik diri, larangan dan tindakan refleksi
lainnya. Pokoknya, tindakan terhadap dirinya sendiri, internalisasi ini adalah
kebalikannya dari proses psikologis yang disebut “proyeksi”. Aktivitas superego
menyatakan diri dalam konflik dengan Ego. Yang dirasakan dalam emosi emosi
seperti ras bersalah, rasa menyesal, rasa malu, dan sebagainya.
2. Hubungan hati nurani dan superego
Menurut hemat kami, hati nurani dan superego tidak bisa
disamakan. Superego bisa tak sadar : pada tahap superego baik sumber rasa
bersalah maupun rasa bersalah itu sendiri bisa tetap disadari. Dalam buku
pengantar baru pada psikoanalisis 1933 salah satu buku terakhir yang
dituslisnya, ia mengatakan selain hati nurani superego meliputi juga fungsi
fungsi observasi diri dam “ideal dari aku”,(gambaran yang dipakai subjek untuk
mengukur dirinyadan sebagai standar yang harus dikejar). Bisa saja superego
terbentuk karena internalisasi dari printah printah dan larangan orang tua.
Suatu keberatan yang sering dikemukakan terhadap pandangan
frued mengenai superego adalah bahwa ia terutama mentoroti bentuk patologis
dari hati nurani, artinya, hati nurani dalam keadaan tidak normal. Sebagaimana
sudah kita lihat, freud mengembangkan psikoanalisis dalam usahanya untuk
menyembuhkan pasien pasien neurotis.
Pandangan psikiater Prancis A.hesnard (1882-1969)dalam
bukunya “moral tanpa dosa” ia berpendapat bahwa manusiaharus membebaskan diri
dari kecenderungan kurang sehat untuk berefleksi tentang dirinya dan memelihara
suatu kehidupan batin yang tidak real. Terutama ia harus melepaskan diri dari
kebiasan untuk menaruh perasaan bersalah. Dalam agama, dosa dan kebersalahan
memainkan peranan besar. Dihadapan tuhan yang maha kudus manusia menyadari
kebersalahannya dang mengharapkan pengampunan atas dosa dosanya.
3. L Kohlberg tentang Perkembangan
Kesadaran Moral
Seorang sarjana yang meluangkan banyak waktu dan tenaga
untuk mempelajari fenomena moralitas dari sudut pandang psikologi adalah
Lawrence Kohlberg (1927-1988). Profesor psikologoi Amerika ini mula mula
bekerja di universitas chicago dan kemudian di universitas Harvard dimana ia
memimpin harvarvard’s center for moral education.
1. Maksud dan Metode Penelitian Kohlberg
Dalam seluruh karyanya kohlberg mengakui ketergantungannya
pada psikolog swiss, Jean piaget (1896-1980). Sepanjang kariernya sebagai
psikolog piaget mempelajari perkembangan pengetahuan manusia (yang disebutnya
“epistemologi genetis”). Metode kohlberg adalah sebagai berikut. Ia
(bersama para pembantunya) mengemukakan sejumlah dilema moral khayalan kepada
subjek-subjek penelitian. “khayalan” dalam arti: kasus kasus itu tidak terjadi
secara konkret, tapi pada prinsipnya bisa terjadi. Untuk dilema-dilema itu
tidak tersediapemecahan dalam lingkungan anak anak itu, sehingga mereka harus
mencari pemecahannya sendiri.
2. Enam tahap perkembangan
moral
Menurut kohlberg, enam tahap (stages) dalam perkembangan
moral dapat dikaitkan satu sama lain dalam tiga tingkatan (level) demikian rupa
sehingga setiap tingkat meliputi dua tahap. Tiga tingkat itu berturut turut
adalah tingkat pascakonvensional.
Kohlberg
baru mulai penelitiannya pada anak anak umur enam tahun.
a. Tingkat konvensional
Pada tingkat ini si anak mengakui adanya aturan- aturan yang
baik serta buruk mulai mempunyai arti baginya, tapi hal itu semata mata
dihubungkan dengan reaksi orang lain. Penilaian tentang baik buruknya perbuatan
hanya ditentukan oleh faktor faktor dari luar. motivasi untuk
penilaian moral terhadap perbuatan hanya didasarkan atas akibat atau
konsekuensi yang dibawakan oleh prilaku sianak: hukuuman atau ganjaran, hal
yang pahit atau hal yang menyenangkan.
Tingkat
prakonvensional ini dapat dibedakan menjadi dua tahap:
Tahap
1: orientasi hukuman dankepatuhan. Anak mendasarkan perbuatannya atas
otoritaskonkret ( orangtua, guru) dan atas hukuman yang akan menyusul, bila ia
tidak patuh.
Tahap
2: orientasi relativis instrumental. Perbuatan adalah baik, jika ibarat
instrumen (alat) dapat memennuhi kebutuhan sendiri kadang kadang juga kebutuhan
orang lain.
b. Tingkat konvensional
Penelitian
kohlberg menunjukan bahwa biasanya (tapi tidak selalu) anak mulai beralih
ketingkat ini antara umur sepuluh dan tiga belas tahun. Disini perbuatan
perbuatan dinilai atas dasar norma norma umum dan kewajiban serta otoritas
dijunjung tinggi. Tingkat ini oleh kohlberg disebut “konvensional”
Tingkat
kedua ini juga mencangkup dua tahap.
Tahap
3: penyesuaian dengan kelompok atau orientasi menjadi “anak manis”. Anak
cenderung mengarahkan diri kepada keinginan serta harapan dari para anggota
keluarga atau kelompok lain (sekolah disini tentu penting).
Tahap
4: orientasi hukum dan ketertiban (law and order). Paham “kelompok” dengan mana
anak harus menyesuaikan diri disini diperluas: dari kelompok akrab (artinya,
orang orang yang dikenal oleh anak ssecara pribadi) ke kelompol yang lebih
abstrak, seperti suku bangsa, negara, agama.
c. Tingkat pasca
konvensional
Oleh
kohlberg tingkat ke tiga ini disebut juga “tingkat otonom” atau “tingkat
berprinsip” (principled level). Pada tingkat kettiga ini hidup moral dipandang
sebagai penerimaan tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang
diatur dalam batin.
Tahap
5: orientasi kontrak sosial legalistis. Disini disadari relativisme nilai-nilai
dan pendapat-pendapat pribadi dan kebutuhan akan usaha usaha untuk mencapai
konsensus.
Tahap
6: orientasi prinsip etika yang universal. Disini orang mengatur tingkah laku
dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah
bahwa prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal.
3. Beberapa ciri khas
perkembangan moral
Sifat yang menurut penelitian kohlberg menandai seluruh
perkembangan moral ini. Sifat pertama ialah bahwa perkembangan tahap-tahap
selalu berlangsung dengan cara yang sama, dalam arti, si anak mulai dengan
tahap pertama, lalu pindah ketahap kedua, dan seterusnya.
Tingkat
pertumbuhan
|
Tahap
pertumbuhan
|
Perasaan
|
Tingkat
pra moral
0-6
tahun
|
Tahap
0
Perbedaan
antara baik dan buruk belum dirasakan atas kewibawaan atau norma-norma
|
|
TINGKAT
PRAKONVENSIONAL
Perhatian
khusus untuk akibat perbuatan:
Hukuman,
ganjaran; motif-motif lahiriah dan partikular
|
TAHAP
1
Anak
berpegang pada kepatuahan dan hukuman. Takut untuk kekuasaan dan berusaha
Menghindarkan
hukuman
TAHAP
2
Anak
mendasarkan diri atas egonisme naif yang kadang kadang ditandai relasi
timbal-balik: do ut des
|
Takut
untuk akibat-akibat negatif dari perbuatan
|
TINGKAT
KONVENSIONAL
Perhatian
juga untuk maksud perbuatan: memenuhi harapan, mempertahankan ketertiban
|
TAHAP
3
Orang
berpegang pada keinginan dan persetujuan orang lain
TAHAP
4
Orang
berpegang pada ketertiban moral dengan aturan tersendiri
|
Rasa
bersalah terhadap orang lain bila tidak mengikuti tuntutan-tuntutan lahiriah
|
TINGKAT
PASCAKONVENSIONAL
atau TINGKAT BERPRINSIP
Hidup
moral adalah tanggung jawab pribadi atas dasar
Prinsip-prinsip
batin:
Maksud
dan akibat-akibat tidak diabaikan motif-motif batin dan universal
|
TAHAP
5
Orang
berpegang pada persetujuan demokratis, kontak sosial, konsensus bebas
TAHAP
6
Orang
berpegang pada hati nurani pribadi, yang ditandai oleh keniscayaan dan
universalitas
|
Penyesalan
atau penghkuman diri karena tidak mengikuti pengertian moralnya sendiri
|
Sifat
kedua adalah bahwa orang hanya dapat mengerti penalaran moral satu tahap diatas
tahap dimana ia berada.
Sifat
ketiga adalah bahwa orang secara kognitif merasa tertarik pada cara
berfikir satu tahap di atas tahapnya sendiri.
Sifat
keempat adalah bahwa perkembangan dari satu tahap ke tahap berikutnya terjadi
bila dialami ketidakseimbangan kognitif dalam penilaian moral, artinya,
orang sudah tidak melihat jalan keluar untuk menyelesaikan masalah atau dilema
moral yang dihadapinya.
4. Kritik oleh carol gilliga
Setiap usaha ilmiah pasti menemui jugakritiknya. Kritik yang
paling menarik dan paling berpengaruh juga datang dari carol gilligan, seorang
murid Kohlberg dan kemudian juga profesor di Universitas Harvard, lalu sejak
2002 pindah ke Universitas New York. Dalam hal ini bukunya yang terpenting
adalah in A Different Voice. Kritik utama gilligan adalah bahwa kohlberg dalam
penelitian hanya memperhatikan anak laki-laki dan mengandaikan begitu
saja dalam hal ini tidak ada perbedaan antara kedua gender. Namun, menurut
Carol Gilligan hal itu tidak benar sama ssekali. Penelitian komparatif antara
kedua gender menunjukan bahwa perempuan lebih mengalami kepedulian (care)
dengan orang yang lebih susah dan merasa bertanggung jawab untuk memperhatikan
serta meringankan penderitaan yang ada disekitarnya. Dari kritik Gilligan ini
berkembang suatu etika feminis yang disebut ethics of care dimana perahatian
untuk kepedulian diberi tempat sentral, bertentangan dengan pemikiran moral
Kohlberg dimana keadilan selalu sentral.
5. Shame Culture dan Guilt Culture
Dalam antropologi budaya pernah dibedakan antara dua macam
kebudayaan: shame culture dan guilt culture, kebudayaan mali dan kebuudayaan
kebersalahan. Shame culture seluruhnya ditandai oleh rasa malu dan disitu tidak
dikenal rasa bersalah. Sedangkan dalam guilt culture terdapat rasa bersalah.
Menurut pandangan ini, shame culture adalah kebudayaan dimana pengertian
seperti “hormat”, “reutasi”, “nama baik”, “status”, “prestise”, “pamor”,
“pesona”, dan “gengsi” sangat ditekankan. Sebaliknya guilt culture
adalah kebudayaan dimana pengertiannya seperti “dosa” (sin), “kebersalahan”,
(guilt), dan sebagainya sangat dipentingkan. Sekalipun suatu kejahatan tidak
akan pernah diketahui oleh orang lain, namun sipelaku merasa bersalah juga.
Mereka menjelaskan lagi bahwa shame culture bersifat statis,
ketinggalan di bidang ekonomi, tidak memiliki norma-norma moral yang absolut,
dan ditandai oleh “psikolog massa”. Sebaliknya, guilt culture khususnya bila
mana rasa bersalah dihayati secara individual sanggup untuk mengadakan
perubahan progresif (termasuk fenomena seperti industrialisasi), memiliki norma
norma moral yang absolut, dan memperhatikan kesejahteraan serta martabat
individu. Dalam hal ini mereka menunjukan kepada pendapat sosiolog besar,
Max Weber (1864-1920) bahwa, “etika protestan” (dalam arti, nilai-nilai khusus
yang menurut dia menandai agama protestan, seperti misalnya: hidup sederhana,
menghemat, bekerja keras dan sebagainya).
Antropologi ternama, Clifford Geertz, umpamanya, menganggap
paham-paham shame and guilt terlalu dekat satu sama lain untuk dapat dibedakan
dengan jelas. Milton singer, antropolog dari Universitas Chicago, telah
mengemukakan kritik yang teliti dan seimbang. Antara lain ia membantah bahwa
untuk rasa malu sanksinya selalu datang dari luar.
Kesimpulan antropologi budaya itu mempunyai relevansi juga,
karena hal itu menunjukan bahwa hati nurani memainkan peranan dalam hampir
semua kebudayaan. Tapi bila tidak ada same culture dan guilt culture dalam
bentuk murni, dalam arti semata mate shame culture atau semata mata guilt
culture, maka tidak ada keberatan untuk mengakui bahwa suatau kebudayaan lebih
terarah kepada shame culture dan kebudayaan lain lebih terarah pada guilt
culture. Dan dalam hubungan ini bisa diakui juga bahwa hati nurani memainkan
peranan lebih besar dalam suatu kebudayaan dari pada dalam kebuyaan lain.
BAB I
PENUTUP
Kesimpulan dari makalah ini, bahwa hal yang paling penting
dari pembentukan kepribadian adalah hati nurani. Hati nurani adalah intansi
dalam diri kita yang menilai tentang moralitas perubahan-perubahan kita secara
langsung baik hal yang buruk atau hal yang benar. Hati nurani pun selalu
berkaitan erat dengan pribadi yang bersangkutan. Namun demikian, kadang kadang
putusan hati nurani bisa memiliki sifat-sifat yang mengingatkan kita pada suatu
argumentasi, terutama hati nurani prosfektif.
Hati nurani mempunyai kedudukan yang kuat dalam hidup moral
kita, hati nurani saling berkaitan dengan agama,hati nurani juga memainkan
peranan dalam hampir semua kebudayaan Dan dalam hubungan ini bisa diakui juga
bahwa hati nurani memainkan peranan lebih besar dalam suatu kebudayaan dari
pada dalam kebuyaan lain.