Senin, 06 Agustus 2012

Nurani Dalam Pembetukan Etika Dan Moral

Bab I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
 Kami mengajak pembaca untuk menjelajahi seluruh wilayah etika. Pertama dibahas tema tema klasik seperti: hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, dan keutamaan. Kemudian dibicarakan pula tentang beberapa teori besar dari sejarah filsafat moral: hedonisme, eudemonisme, utilitarianisme, dan deontologi. Akhirnya, disajikan sekedar pengantar pada etika terapan, artinya, etika yang menyototi bidang bidang khusus seperti dunia kedokteran, praktik bisnis, lingkungan hidup, dll.
Dalam makalah ini Kami membahas tentang hati nurani sebagai penomenal moral, kesadaran dan hati nurani retrosfektif dan hati nurani rosfektif  hati nurani bersipat personal dan supersonal, beberapa masalah khusus tentang hati nurani dan pembinaan hati nurani. Hati nurani dan super ego pun kami bahas.

 
BAB II
PEMBAHASAN

1.     Hati Nurani sebagai Fenomena Moral

1.      Pendekatan naratif
Setiap manusia mempunyai pengalaman tentang hati nurani dan mungkin pengalaman itu merupakan perjumpaan paling jelas dengan moralitas sebagai kenyataan.dalam suatu pendekatan h yang berbeda naratif kita mulai dengan memandang tiga contoh yang berbeda tentang pengalaman hati nurani yang dipilih dengan cara demikian,sehingga dapat dipakai dalam analisis selanjutnya.
·        seorang hakim telah menjatuhkan vonis dalam suatu perkara pengadilan yang penting.malam sebelumnya ia didatangi oleh wakil dari pihak terdakwa.orang itu menawarkan sejumlah besar uang,bila si hakim bersedia memenangkan pihaknya.Hakim yakin bahwa terdakwa itu bersalah.bahan bukti yang telah dikumpulkan dengan jelas menunjukkan hal itu. Tapi ia tergiur oleh uang begitu banyak, sehingga tidak bisa lain daripada menerima penawaran itu. Ia telah memutuskan terdakwa tidak bersalah dan membebaskan dari segala tuntutan hukum.Kejadian ini sangat menguntungkan untuk dia. Dan sekarang ia sanggup menyekolahkan anaknya ke luar negeri dan membeli rumah yang sudah lama diidam-idamkan oleh istrinya. Namun demikian,ia tidak bahagia dalam batinnya ia merasa gelisah. Ia seolah-olah “malu” terhadap dirinya sendiribukan karena ia takut kejadian itu akan diketahui oleh atasannya. Selain anggota keluarga terdekat tidak ada yang tahu. Prosedurnya begitu hati hati dan teliti, sehingga kasus suap itu tidak akan pernah diketahui oleh orang lain. Namun, kepastiaan ini tidak bisa menghilangkan  kegelisahannya. Baru kali ini ia menyerah terhadap godaan semacam itu. Sampai swekarang ia selalu setia pada sumpahnya ketika dilantik dalam jabatan yang luhur ini. Mengapa kali ini ia sampai terjatuh ? ia merasa marah dan mual terhadap dirinya sendiri.

2.      Kesadaran dan Hati Nurani

apa itu hati nurani ? secara sangat umum dapat dikatakan, hati nurani adalah “instansi” dalam diri kita yang menilai tentang moralitas perbuatan perbuatan kita secara langsung, kini dan disini.  dengan hati nurani” kita maksudkan penghayatan tentang baik atau buruk berhubungan dengan tinkah laku konkrit kita. Hati nurani ini memerintahkan atau melarang kita untuk melakukan sesuatu dan disini. Ia tidak berbicara yang umum, melainkan tentang situasi yang sangat konkrit tidak mengikuti hati nurani ini berarti menghancurkan integritas pribadi kita dan menghianati martabat terdalam kita.
            Dapat dikatakan juga, hati nurani adalah kesadaran moral “ instansi” yang membuat kita menyadari baik atau buruk ( secara moral ) dalam prilaku kita dan karena itu dapat menyuluhi dan membimbing perbuatan perbuatan kita dibidang moral. Untuk mengerti hal ini perlu kita bedakan antara pengenalan dan kesadaran.
Untuk menunjukan kesadaran, dalam bahasa latin dan bahasa bahasa yang diturunkan dari padanya, dipakai kata conscieentia. Kata itu berasal dari kata kerja scire ( mengetahui )  dan awalan con ( bersama dengan, turut ).
Dengan demikian coscieentia sebenarnya berarti  “ turut mengetahui” dan mengingatkan kita pada gejala “ penggandaan “ yang disebut tadi bukan saja saya saya melihat pohon itu, tapi saya juga “ turut mengetahui” bahwa sayalah yang melihat pohon itu.kata  coscieentia yang sama dalam bahasa latin ( dan bahasa bahasa yang serumpun dengannya) digunakan juga untuk menunjukan “ hati nurani”. Dalam hati nurani berlangsung juga penggandaan yang sejenis. Hati nurani merupakan semacam “ saksi “ tentang perbuatan perbuatan moral kita.

3.      Hati nurani retrospektif dan hati nurani prospektif

Hati nurani retrospektif memberi penilaian tantang perubahan perubahan yang telah berlangsung dimasa lampau. Hati nurani ini seakan akan menolleh kebelakang dan menilai perbuatan perbuatan yang sudah lewat. Hati nurani dalam arti retrospektif menuduh atau mencela, bila perbuatannya jelek; dan sebaliknya, memuji atau membeli rasa puas bila perbuatannya dia anggap baik.
Bila hati nurani menghukum dan menuduh kita, kita merasa gelisah dalam batin dikatakan dalam bahasa inggris kita mempunyai a bad conscience . bila kita telah bertingkah laku baik, kita mempunyai a good conscience atau a clear conscience.
Beberapa filsuf berpendapat bahwa hati nurani dalam keadaan gelisah ( a bad conscience ) merupakan penomena yang paling mendasar. Hannah arendt ( 1906- 1975 ), hati nurani dalam keadaan tenang hanya berarti  tiadanya hati nurani yang gelisah. Hati nurani yang tenang dengan demikian dihasilkan karena dibebaskan dari segala tuduhan.
Hati nurani prosfektif melihat kedepan dan menilai perbuatan perbuatan kita yang akan datang. Dalam hati nurani prosfektif ini sebenarnya terkandung semacam ramalan. Hati nurani passti akan menghukum kita, andai kata kita melakukan perbuatan yang salah.
Pembedan antara hati nurani retrospektif dan hati nurani prosfektif ini bisa menampilakan kesan seolah olah hati nurani hanya menyangkut masa lampau atau masa depan. Hati nurani dalam arti yang sebenarnya justru menyangkut perbuatan yang sedang dilakukan kini dan disini. Ketika sihakim menerima uang suap ( contoh )ia sudah mengalami bahwa perbuatannya tidak terpuji. Namun,kemudian hati nurani tidak diam, tapi sebaliknya  justru bertambah lantang dengan menuduh dia serta mengganggu ketenangan batinnya. Jadi, keadaan gelisah itu berawal dari perbuatannya.




4.      Hati Nurani Bersifat Personal dan Suprapersonal

Hati nurani bersifat personal, artinya selalu berkaitan erat dengan pribadi bersangkutan. Hati nurani diwarnai oleh keperibadian kita. Hati nurani akan berkembang juga bersama dengan perlkembangan seluruh kepribadian kita. Hati nurani bersifat personal, yaitu hati nurani hanya berbicara atas nama saya. Hati nurani hanya memberi penilaiannya tentang perbuatan saya sendiri.
Disamping aspek personal, hati nurani menunjukan juga suatu aspek supra personal. Selain bersifat pribadi, hati nurani juga seolah olah melebihi pribadi kita, seolah olah merupakan instansi diatas kita. Terhadap hati nurani, kita seakan akan menjadi “ pendengar “.kita seakan akan mengambil sikap preseftif dan membuka diri terhadap suara yang datang dari luar. Karena asfek supra natural itu, orang beragama kerapkali mengatakan bahwahati nurani adalah suara Tuhan atau bahwaTuhan  berbicara melalui hati nurani.

5.      Beberapa Masalah Khusus tentang Hati Nurani

a.      Hati nurani termasuk perasaan , kehendak, atau rasio ?
         Dalam sejarah filsafat sering dipersoalkan apakah hati nurani termasuk perasaan, kehendak, atau rasio. Dalam filsafat dewasa ini  sudah terbentuk keyakinan bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dalam berbagai fungsi atau daya. Dalam hati nurani pula memainkan peranan baik perasaan atau kehendak maupun juga rasio tapi terdapat suatu tendensi kuat dalam filsafatuntuk mengakui bahwa hati nurani secara khusus dikaikan secara rasio. Mengemukakan putusan jelas merupakan fungsi dari rasio. Tetapi dalam hal ini perlu dibedakan antara dua macam rasio: rasio teoretis dan rasio praktis. Rasio teoretis memberi jawaban atas pertanyaan. Rasio teoretis bersifat abstrak, maka rasio praktis justru bersifat konkret. Hati nurani juga sangat konkret sifatnya dan mengatakan kepada kita apa yang harus dilakukan kini dan disini. Putusan hati nurani “ mengkonkretkan “ pengetahuan etis kita yang umum. Hati nurani seolah olah merupakan jembatan yang menghubungkan pengetahuan etis kita yang umum dengan prilaku konkret.
       Biarpun putuswn hati nurani bersifat rasional, itu tidak berarti bahwa ia mengemukakan suatu penalaran logis ( reasoning ). ucapan hati nurani pada umumnya bersifat intuitif, artinya langsung menyatakan: ini baik baik dan terpuji atau itu buruk dan tercela. Pemikiran intwitif berlangsung “ bagaikan tembakan “ :langsung, satu kali tembak, tidak menurut tahap tahap perkembangan seperti dalam sebuah argumentasi. Namun demikian, kadang kadang putusan hati nurani bisa memiliki sifat sifat yang mengingatkan kita pada suatu argumentasi, terutama hati nurani prosfektif.

b.      Hati Nurani sebagai Hak
     Hati nurani merupakan hak dasar bagi setiaap manusia. Tidak ada orang lain yang berwenang untuk campur tangan dalam putusan hati nurani seseorang.
Bila dalam deklarasi universal tentang hak asasi manusia ( 1948 ) disebut juga “ hak atas kebebasan hati nurani “(pasal).  Konsekuensinya bahwa negara harus menghormati putusan hati  nurani para warganya, bahkan kalau kewajiban itu menimbulkan konflik  hak dari conscientious objektor: orang yang berkeberatan memenuhi suatu kewajiban sebagai warga negara karena alasan hati nurani contohnya terkenal adalah conflik yang sering dialami di negara negara yang mempraktekan wajib militer. Disana tidak jarang dan orang muda yang menolak untuk memenuhu wajib militer dengan alasan hati nurani.
Dalam kasus semacam itu negara menghadapi dilema yang tidak mudah: menjalankan tugas tugas pertahanan nasional dengan baik atau menghormati hati nurani warga negara.


c.       Hati nurani adalah norma moral terakhir
       Hati nurani mempunyai kedudukan kuat dalam hidup moral kita. hati nurani adalah norma terakhir untuk perbuatan kita. Kita selalu mengikuti hati nurani dan tidak pernah boleh kita lakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Dalam arti itu hati nurani mengikat kita secara mutlak. Putusan hati nurani yang merupakan norma moral terakhir bersifat subjektif. Dan belum tentu perbuatan yang dilakukan  atas desakan hati nurani adalah baik juga secara objektif bisa saja hati nurani menyatakan sesuatu adalah baik, bahkan wajib dilakukan padahal secara objektof perbuatan itu buruk.
        Mungkin pembunuhan mahatma gandhi atau martin luther king pun beranggapan melakukan suatu perbuatan baik yang diperintahkan hati nurani. Padahal, semua orang yang berfikiran sehat akan menolak pembunuhan pembunuhan itu sebagai kejahatan besar.
Tapi yang sebenarnya diungkapkan oleh hati nurani bukan baik burkunya perbuatan itu sendiri, melainkan bersalah tindaknya sipelaku.
Manusia adalah orang yang jidup baik ( secara moral ) bila ia selalu hidup menurut hati nuraninya. Manusia bukan saja wajib untuk selalu mengikuti hati nuraninya,ia wajib juga mengembangkan  hati nuraninya dan seluruh kepribadian etisnya sampai menjadi matang seimbang.

6.      Pembinaan hati nurani

         Ilmu pengetahuan empiris mempunyai sebagai cita cita : objektifitas sempurna, keadaan yang mereka, subjektifitas sama artinya dengan kurang serius, tidak bisa diandalkan sewenang wenang. Karena sifat subjektif itu mereka tegaskan hati nurani juga mudah disalahgunakan. Hati nurani bisa menjadi kedok untuk melakukan rupa rupa kejahatan.
Etika sebagai ilmu tidak menjadi mubajir dengan adanya hati nurani. Etika harus berusaha keras untuk mencari kepastian ilmiah dan objektif dalam problem problem yang dihadapi.
Adanya banyak tipe hati nurani: ada yang halus dan jitu, ada pula yang longgar dan kurang tepat, bahkan ada yang tumpul. Dalam fisikiatri dibicarakan tentang moral insanity: kelainan jiwa yang membuat orang seolah olah buta dibidang etis, sehingga tidak bisa membedakan baik dan buruk.
Orang yang menderita moral insyanity perlu diobati.
Anak ytang didik dalam keluarga pencuri misalnya, hampir tidak mungkin akan mempunyai putusan hati nurani yang baik tentang hak milik.
Hanya hati nurani yang didik dan dibentuk dengan baik, dapat memberikan penyuluhan tepat dalam hidup moral kita.
Tapi pendidikan akal budi jauh lebih gampang untuk dijalankan. Metode metode yang harusnya digunakan untuk mencapai hasil optimal, dalam mendidik akal budi lebih jauh jelas. Pendidikan disekolah terutama bertujuan mengembangkan dan mendidik akal budi anak anak. Disekolah mendidik terutama berarti mencerdaskan.
Pada mulanya anak kecil hanya bisa dilatih untuk menyesuaikan diri secara lahiriah dengan kehendak para pendidiknya. Ketakutan akan sanksi yang mewarnai permulaan kehidupan moral, lama kelamaan harus diganti dengan cinta dan nilai nilai. Kewajiban terhadap hukum moral mengikat hidup semua orang.
Pendidikan hati nurani seolah seolah berjalan dengan sendirinya, bilamana si anak diliputi oleh suasana yang sehat serta luhur dan ia melihat bahwa orang disekelilingnya memenuhi kewajiban mereka dengan seksama dan mempraktekan keutamaan keutamaan yang mereka ajarkan.



2.  Hati nurani dan “superego”
Seringkali hati nurani dikaitkan dengan “ superego”, bahkan tidak jarang kedua hal disamakan begitu saja. Istilah “superego” berasal dari sigmun frued ( 1856-1939), dokter ahli syaraf austria yang meletakan dasar untuk psikoanalisis. Ia mengemukakan istilah itu dalam rangka teorinya tentangstruktur kepribadian manusia.

1.      Pandangan frued tentang struktur kepribadian
Tubuh kita mempunyai struktur tertentu: ada kepala, kaki, lengan, dan batang tubuh. Psike kita juga mempunyai suatu struktur, walaupun tentu tidak terdiri dari bagian bagian dalam ruang. Struktur psikis manusia menurut frued meliputi tiga instasi atau tiga sistem yang berbeda. Ketiga instansi ini massing masing adalah id, ego, superego.
a.      Id
Frued pernah mengatakan bahwa hidup psikis kita ibarat gunung es yang terapung apung di laut. Hanya puncaknya tampak diatas permukaan air, tapi sebagian gunung es itu tidak kelihatan, karena terpendam dilaut. Hidup psikis manusia juga untuk sebagian besar tidak tampak atau lebih tepat lebih sadar, namun tetap merupakan kenyataan yang harus diperhitungkan.Frued mengintroduksikan kedalam psikolog paham “ketaksadaran dinamis”, artinya, ketaksadaran yang mengerjakan sesuatu dan tidak tinggal diam.
Pada permulaan psikolog modern hidup psikis disamakan begitu saja dengan kesadaran. Hal itu diwarisi oleh psikologi filsuf prancis Rene Descartes (1596-1650) yang dijiluki “bapak filsafat modern”.. Bagi Descartes, kegiatan psikis yang tak sadar merupakan satu kontradiksi, karena hidup psikis sama saja dengan kesadarn.
Frued memakai istilah “Id” untuk menunjukan ketaksadaran itu. Id adalah lapisan yang palling fundamental dalam susunan psikis seorang manusia. Id meliputi segala sesuatu yang bersifat impersonal atau anonim, tidak disengaja atau tidak disadari, dalam daya daya yang mendasar yang menguasai kehidupan psikis manusia.justru karena itu frued memilih istilah “id” (atau bahasa aslinya “Es”) yang merupkan kata ganti orang neutrum. Bagi frued adanya Id telah terbukti terutama dengan tiga cara. Pertama, faktor psikis  yang paling jelas membuktikannya adanya Id dalam mimpi. Bila bermimpi, sipemimpi sendiri seolah- olah hanya merupakan penonton pasif.
Kedua, adanya ID terbukti juga, kita mempelajari perbuatan perbuatan yang pada pandangan pertama rupanya, remeh saja dan tidak punya arti, seperti perbuatan keliru, salah ucap, “keseleo lidah”, lupa dan sebagainya. Ketiga alasan paling penting bagi frued untuk menerima adanya ketaksadaran adalah pengalamannya dengan pasien pasien neurosis.
Pada awal mula, hidup manusia terdiri dari psikis saja. Pada janin dalam kandungan ibunya dan pada bayi yang baru lahir saja, hidup psikis untuk serratus persen sama dengan Id. Walaupun faktor faktor tak sadar memainkan peranan besar dalam neurosis, perlu ditekankan bahwaid atau ketaksadaran merupakan satu keyakinan psikologis yang normal dan universa. Hidup psikis manusia didasarkan atas Id itu.
b.      Ego
Aktivitas ego bisa sadar, prasadar maupun tak sadar. Tapi untuk sebagian besar Ego bersifat sadar. Sebagai contoh aktivitas sadar boleh disebut: persepsi lahiriah (saya melihat pohon disitu), presepsi batiniah (saya merasa sedih) dan proses intelektual. Sebagai contoh tentang tentang aktivitas prasadar dapat dikemukakan fungsi ingatan (saya mengingat kembali nama yang tadi saya lupa).dan aktivitas tak sadar dijalankan oleh Ego melalui mekanisme mekanisme pertahanan (defence mechanisms). Misalnya, orang yang dalam hati kecilnya sangat takut dengan kenyataan berlagak gagah berani. Ego dikuasai oleh “prinsip realitas” (the raliti principle).
Jadi prinsip kesenangan dari Id disini diganti dengan prinsip realitas. Adalah tugas Ego (bukan Id dan naluri- naluri) untuk mempertahnkan kepribadiannya sendiri  dan menjamin penyesuaian dengan alam sekitar,  lagi pula untuk memecahkan konflik konflik dengan realitas dan konflik konflik dengan keinginan keinginan yang tidak cocok satu sama lain. Ego juga mengontrol apa yang mau masuk kesadaran dengan kata lain mengadakan sintesis  psikis.
c.       Superego
        Superego adalah instansi terakhir yang dikemukakan frued. Lama kelamaan ia yakin bahwa disamping Id dan Ego masih harus diterima suatu instansi lain yang seolah olah bertempat diatas Ego (dan karena itu namanya: superego), sebab bersifat kritis terhadapnya bahkan bisa sampai menghantam. Superego mempunyai tempat khusus antara Ego dan Id. Superego ini termasuk ego, dan seperti Ego ia mempunyai susunan psikologis lebih kompleks, tetapi ia juga mempunyai kaitan sangat erat dengan Id. Bagi ego sama penting mempunyai hubungan baik dengan superego seperti dengan Id.
Superego adalah instansi yang melepaskandiri dari  ego dalam bentuk observasi diri, kritik diri, larangan dan tindakan refleksi lainnya. Pokoknya, tindakan terhadap dirinya sendiri, internalisasi ini adalah kebalikannya dari proses psikologis yang disebut “proyeksi”. Aktivitas superego menyatakan diri dalam konflik dengan Ego. Yang dirasakan dalam emosi emosi seperti ras bersalah, rasa menyesal, rasa malu, dan sebagainya.
2.     Hubungan hati nurani dan superego
Menurut hemat kami, hati nurani dan superego tidak bisa disamakan. Superego bisa tak sadar : pada tahap superego baik sumber rasa bersalah maupun rasa bersalah itu sendiri bisa tetap disadari. Dalam buku pengantar baru pada psikoanalisis 1933 salah satu buku terakhir yang dituslisnya, ia mengatakan selain hati nurani superego meliputi juga fungsi fungsi observasi diri dam “ideal dari aku”,(gambaran yang dipakai subjek untuk mengukur dirinyadan sebagai standar yang harus dikejar). Bisa saja superego terbentuk karena internalisasi dari printah printah dan larangan orang tua.
Suatu keberatan yang sering dikemukakan terhadap pandangan frued mengenai superego adalah bahwa ia terutama mentoroti bentuk patologis dari hati nurani, artinya, hati nurani dalam keadaan tidak normal. Sebagaimana sudah kita lihat, freud mengembangkan psikoanalisis dalam usahanya untuk menyembuhkan pasien pasien neurotis.
Pandangan psikiater Prancis A.hesnard (1882-1969)dalam bukunya “moral tanpa dosa” ia berpendapat bahwa manusiaharus membebaskan diri dari kecenderungan kurang sehat untuk berefleksi tentang dirinya dan memelihara suatu kehidupan batin yang tidak real. Terutama ia harus melepaskan diri dari kebiasan untuk menaruh perasaan bersalah. Dalam agama, dosa dan kebersalahan memainkan peranan besar. Dihadapan tuhan yang maha kudus manusia menyadari kebersalahannya dang mengharapkan pengampunan atas dosa dosanya.
3.    L Kohlberg tentang Perkembangan Kesadaran Moral

Seorang sarjana yang meluangkan banyak waktu dan tenaga untuk mempelajari fenomena moralitas dari sudut pandang psikologi adalah Lawrence Kohlberg (1927-1988). Profesor psikologoi Amerika ini mula mula bekerja di universitas chicago dan kemudian di universitas Harvard dimana ia memimpin  harvarvard’s center for moral education.

1.     Maksud dan Metode Penelitian Kohlberg
Dalam seluruh karyanya kohlberg mengakui ketergantungannya pada psikolog swiss, Jean piaget (1896-1980). Sepanjang kariernya sebagai psikolog piaget mempelajari perkembangan pengetahuan manusia (yang disebutnya “epistemologi genetis”). Metode kohlberg adalah sebagai berikut. Ia (bersama para pembantunya) mengemukakan sejumlah dilema moral khayalan kepada subjek-subjek penelitian. “khayalan” dalam arti: kasus kasus itu tidak terjadi secara konkret, tapi pada prinsipnya bisa terjadi. Untuk dilema-dilema itu tidak tersediapemecahan dalam lingkungan anak anak itu, sehingga mereka harus mencari pemecahannya sendiri.
2.      Enam tahap perkembangan moral
Menurut kohlberg, enam tahap (stages) dalam perkembangan moral dapat dikaitkan satu sama lain dalam tiga tingkatan (level) demikian rupa sehingga setiap tingkat meliputi dua tahap. Tiga tingkat itu berturut turut adalah tingkat pascakonvensional.
Kohlberg baru mulai penelitiannya pada anak anak umur enam tahun.
a.      Tingkat konvensional
Pada tingkat ini si anak mengakui adanya aturan- aturan yang baik serta buruk mulai mempunyai arti baginya, tapi hal itu semata mata dihubungkan dengan reaksi orang lain. Penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya ditentukan  oleh faktor faktor dari luar. motivasi  untuk penilaian moral terhadap perbuatan hanya didasarkan atas akibat atau konsekuensi yang dibawakan oleh prilaku sianak: hukuuman atau ganjaran, hal yang pahit atau hal yang menyenangkan.
Tingkat prakonvensional ini dapat dibedakan menjadi dua tahap:

Tahap 1: orientasi hukuman dankepatuhan. Anak mendasarkan perbuatannya atas otoritaskonkret ( orangtua, guru) dan atas hukuman yang akan menyusul, bila ia tidak patuh.
Tahap 2: orientasi relativis instrumental. Perbuatan adalah baik, jika ibarat instrumen (alat) dapat memennuhi kebutuhan sendiri kadang kadang juga kebutuhan orang lain.
b.       Tingkat konvensional
Penelitian kohlberg menunjukan bahwa biasanya (tapi tidak selalu) anak mulai beralih ketingkat ini antara umur sepuluh dan tiga belas tahun. Disini perbuatan perbuatan dinilai atas dasar norma norma umum dan kewajiban serta otoritas dijunjung tinggi. Tingkat ini oleh kohlberg disebut “konvensional”
Tingkat kedua ini juga mencangkup dua tahap.

Tahap 3: penyesuaian dengan kelompok atau orientasi menjadi “anak manis”. Anak cenderung mengarahkan diri kepada keinginan serta harapan dari para anggota keluarga atau kelompok lain (sekolah disini tentu penting).
Tahap 4: orientasi hukum dan ketertiban (law and order). Paham “kelompok” dengan mana anak harus menyesuaikan diri disini diperluas: dari kelompok akrab (artinya, orang orang yang dikenal oleh anak ssecara pribadi) ke kelompol yang lebih abstrak, seperti suku bangsa, negara, agama.
c.       Tingkat pasca konvensional
Oleh kohlberg tingkat ke tiga ini disebut juga “tingkat otonom” atau “tingkat berprinsip” (principled level). Pada tingkat kettiga ini hidup moral dipandang sebagai penerimaan tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang diatur dalam batin.
Tahap 5: orientasi kontrak sosial legalistis. Disini disadari relativisme nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi dan kebutuhan akan usaha usaha untuk mencapai konsensus.
Tahap 6: orientasi prinsip etika yang universal. Disini orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal.

3.      Beberapa ciri khas perkembangan moral

Sifat yang menurut penelitian kohlberg menandai seluruh perkembangan moral ini. Sifat pertama ialah bahwa perkembangan tahap-tahap selalu berlangsung dengan cara yang sama, dalam arti, si anak mulai dengan tahap pertama, lalu pindah ketahap kedua, dan seterusnya.
Tingkat pertumbuhan
Tahap pertumbuhan
Perasaan
Tingkat pra moral
0-6 tahun
Tahap 0
Perbedaan antara baik dan buruk belum dirasakan atas kewibawaan atau norma-norma

TINGKAT PRAKONVENSIONAL

Perhatian khusus untuk akibat perbuatan:
Hukuman, ganjaran; motif-motif lahiriah dan partikular
TAHAP 1
Anak berpegang pada kepatuahan dan hukuman. Takut untuk kekuasaan dan berusaha
Menghindarkan hukuman

TAHAP 2
Anak mendasarkan diri atas egonisme naif yang kadang kadang ditandai relasi timbal-balik: do ut des
Takut untuk akibat-akibat negatif dari perbuatan
TINGKAT KONVENSIONAL

Perhatian juga untuk maksud perbuatan: memenuhi harapan, mempertahankan ketertiban
TAHAP 3
Orang berpegang pada keinginan dan persetujuan orang lain

TAHAP 4
Orang berpegang pada ketertiban moral dengan aturan tersendiri
Rasa bersalah terhadap orang lain bila tidak mengikuti tuntutan-tuntutan lahiriah



TINGKAT
PASCAKONVENSIONAL atau TINGKAT BERPRINSIP

Hidup moral adalah tanggung jawab pribadi atas dasar
Prinsip-prinsip batin:
Maksud dan akibat-akibat tidak diabaikan motif-motif batin dan universal
TAHAP 5
Orang berpegang pada persetujuan demokratis, kontak sosial, konsensus bebas

TAHAP 6
Orang berpegang pada hati nurani pribadi, yang ditandai oleh keniscayaan dan universalitas
Penyesalan atau penghkuman diri karena tidak mengikuti pengertian moralnya sendiri

Sifat kedua adalah bahwa orang hanya dapat mengerti penalaran moral satu tahap diatas tahap dimana ia berada.
Sifat ketiga adalah bahwa orang secara kognitif merasa tertarik pada cara berfikir  satu tahap di atas tahapnya sendiri.
Sifat keempat adalah bahwa perkembangan dari satu tahap ke tahap berikutnya terjadi bila dialami  ketidakseimbangan kognitif dalam penilaian moral, artinya, orang sudah tidak melihat jalan keluar untuk menyelesaikan masalah atau dilema moral yang dihadapinya.

4.      Kritik oleh carol gilliga

Setiap usaha ilmiah pasti menemui jugakritiknya. Kritik yang paling menarik dan paling berpengaruh juga datang dari carol gilligan, seorang murid Kohlberg dan kemudian juga profesor di Universitas Harvard, lalu sejak 2002 pindah ke Universitas New York. Dalam hal ini bukunya yang terpenting adalah in A Different Voice. Kritik utama gilligan adalah bahwa kohlberg dalam penelitian hanya memperhatikan anak laki-laki dan mengandaikan  begitu saja dalam hal ini tidak ada perbedaan antara kedua gender. Namun, menurut Carol Gilligan hal itu tidak benar sama ssekali. Penelitian komparatif antara kedua gender menunjukan bahwa perempuan lebih mengalami kepedulian (care) dengan orang yang lebih susah dan merasa bertanggung jawab untuk memperhatikan serta meringankan penderitaan yang ada disekitarnya. Dari kritik Gilligan ini berkembang suatu etika feminis yang disebut ethics of care dimana perahatian untuk kepedulian diberi tempat sentral, bertentangan dengan pemikiran moral Kohlberg dimana keadilan selalu sentral.

5.    Shame Culture dan Guilt Culture
Dalam antropologi budaya pernah dibedakan antara dua macam kebudayaan: shame culture dan guilt culture, kebudayaan mali dan kebuudayaan kebersalahan. Shame culture seluruhnya ditandai oleh rasa malu dan disitu tidak dikenal rasa bersalah. Sedangkan dalam guilt culture terdapat rasa bersalah. Menurut pandangan ini, shame culture adalah kebudayaan dimana pengertian seperti “hormat”, “reutasi”, “nama baik”, “status”, “prestise”, “pamor”, “pesona”, dan “gengsi” sangat ditekankan. Sebaliknya guilt culture adalah kebudayaan dimana pengertiannya seperti “dosa” (sin), “kebersalahan”, (guilt), dan sebagainya sangat dipentingkan. Sekalipun suatu kejahatan tidak akan pernah diketahui oleh orang lain, namun sipelaku merasa bersalah juga.
Mereka menjelaskan lagi bahwa shame culture bersifat statis, ketinggalan di bidang ekonomi, tidak memiliki norma-norma moral yang absolut, dan ditandai oleh “psikolog massa”. Sebaliknya, guilt culture khususnya bila mana rasa bersalah dihayati secara individual sanggup untuk mengadakan perubahan progresif (termasuk fenomena seperti industrialisasi), memiliki norma norma moral yang absolut, dan memperhatikan kesejahteraan serta martabat individu. Dalam hal ini mereka menunjukan  kepada pendapat sosiolog besar, Max Weber (1864-1920) bahwa, “etika protestan” (dalam arti, nilai-nilai khusus yang menurut dia menandai agama protestan, seperti misalnya: hidup sederhana, menghemat, bekerja keras dan sebagainya).
Antropologi ternama, Clifford Geertz, umpamanya, menganggap paham-paham shame and guilt terlalu dekat satu sama lain untuk dapat dibedakan dengan jelas. Milton singer, antropolog dari Universitas Chicago, telah mengemukakan kritik yang teliti dan seimbang. Antara lain ia membantah bahwa  untuk rasa malu sanksinya selalu datang dari luar.
Kesimpulan antropologi budaya itu mempunyai relevansi juga, karena hal itu menunjukan bahwa hati nurani memainkan peranan dalam hampir semua kebudayaan. Tapi bila tidak ada same culture dan guilt culture dalam bentuk murni, dalam arti semata mate shame culture atau semata mata guilt culture, maka tidak ada keberatan untuk mengakui bahwa suatau kebudayaan lebih terarah kepada shame culture dan kebudayaan lain lebih terarah pada guilt culture. Dan dalam hubungan ini bisa diakui juga bahwa hati nurani memainkan peranan lebih besar dalam suatu kebudayaan dari pada dalam kebuyaan lain.


BAB I
PENUTUP

Kesimpulan dari makalah ini, bahwa hal yang paling penting dari pembentukan kepribadian adalah hati nurani. Hati nurani adalah intansi dalam diri kita yang menilai tentang moralitas perubahan-perubahan kita secara langsung baik hal yang buruk atau hal yang benar. Hati nurani pun selalu berkaitan erat dengan pribadi yang bersangkutan. Namun demikian, kadang kadang putusan hati nurani bisa memiliki sifat-sifat yang mengingatkan kita pada suatu argumentasi, terutama hati nurani prosfektif.
Hati nurani mempunyai kedudukan yang kuat dalam hidup moral kita, hati nurani saling berkaitan dengan agama,hati nurani juga memainkan peranan dalam hampir semua kebudayaan Dan dalam hubungan ini bisa diakui juga bahwa hati nurani memainkan peranan lebih besar dalam suatu kebudayaan dari pada dalam kebuyaan lain.

Tidak ada komentar: