Sabtu, 28 Juli 2012

Konsep Dasar Pendidikan Jasmani


1.      a. Konsep pendidikan jasmani paradigma lama 
      Merupakan konsep yang sifatnya otoriter, guru merupakan sumber dari segala sesuatu yang berhubungan dengan pengajaran baik dari pembuatan RPP dan Silabus serta dalam proses ajar mengajar yang cenderung menyuap siswa secara terus menerus yang dapat mengakibatkan siswa kurang aktif, kreatif dan manja sehingga siswa tidak mandiri pada saat berada di tingkat yang lebih tinggi.
      Jika kita berkaca pada perspektif sejarah, maka dapat dimaklumi bahwa kualitas pendidikan jasmani di Indonesia dapat mewujud dalam bentuknya yang sekarang. Menginterpretasikan konteks sejarah perkembangan pendidikan jasmani dan olahraga nasional kita, dapat diduga bahwa telah terjadi perubahan paradigma Pendidikan jasmani di masa lalu, yang terjadi pada tahun 60-an. Kala itu, para founding fathers bangsa kita mencoba memanfaatkan olahraga sebagai alat strategis dan sekaligus politis untuk keluar dari rasa rendah diri kolektif sebagai bangsa yang baru merdeka setelah sekian abad terjajah dan terbodohkan secara sistematis. Keyakinan yang berkembang adalah bahwa olahraga dapat menjadi bukti bahwa bangsa kita memiliki potensi dan kemampuan yang sama dengan bangsa lain, yang ditunjukkan melalui bisa berkiprahnya bangsa Indonesia dalam berbagai event olahraga regional dan internasional.
      Dengan kepercayaan tersebut, tidak pelak, penjas di sekolah-sekolah pun diubah paradigmanya, bukan lagi sebagai alat pendidikan, melainkan dipertajam menjadi alat untuk membantu gerakan olahraga sebagai penegak postur bangsa, agar lebih banyak lagi bibit-bibit atlet yang bisa dipersiapkan. Akibatnya, seperti yang dapat kita saksikan sekarang, Penjas kita lebih bernuansa pelatihan olahraga daripada sebagai proses sosialisasi dan mendidik anak melalui olahraga. Demikian kuatnya paradigma pelatihan olahraga dalam Penjas kita, sehingga dewasa ini paradigma tersebut masih kuat digenggam oleh para guru Penjas. Dalam kondisi demikian, pembelajaran sering berubah menjadi aktivitas yang dalam kategori Sue Bredekamp (1993) merupakan program yang Undevelopmentally Appropriate Practice (UAP), padahal yang seharusnya berlangsung adalah program yang Developmentally Appropriate Practice (DAP).

      Dengan paradigma yang salah tersebut, program olahraga dalam pelajaran pendidikan jasmani lebih menekankan pada harapan agar program tersebut berakhir pada terpetiknya manfaat pembibitan usia dini. Alasannya cukup jelas, pendeknya penggunaan olahraga di sekolah bukanlah dipandang sebagai alat pedagogis, melainkan lebih dihargai sebagai alat sosialisasi olahraga kepada siswa. Sebagai konsekuensinya, ruang lingkup pendidikan jasmani menjadi menyempit; seolah-olah terbatas pada program memperkenalkan anak pada cabang, Ketika guru menggeser pola pembelajaran menjadi pola pelatihan, maka tugas gerak dan ukuran-ukuran keberhasilannya pun bergeser menjadi keterampilan dengan kriteria yang formal, kaku, dan tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak. Dalam kondisi tersebut, guru hanya menetapkan satu kriteria keberhasilan, yaitu ketika gerakan yang dilakukan anak sesuai dengan kaidah-kaidah teknik dasar yang sudah dibakukan. Hanya sedikit anak yang biasanya mampu menguasai keterampilan dengan kriteria tersebut, sehingga anak yang lain masuk ke dalam kelompok yang gagal. Akibatnya, dalam banyak proses pembelajaran, anak akan lebih banyak merasakan pengalaman gagal daripada pengalaman berhasil (feeling of success).
      Secara tidak disadari, profil guru Penjas pun berubah dari yang semula santun dan bersifat mengasuh, bergeser menjadi profil keras dan angker serta menyepelekan kepribadian anak (Mahendra, 2006). Banyak guru yang percaya bahwa pembelajaran olahraga harus berlangsung dalam suasana keras, bahkan cenderung kasar, karena diyakini termasuk upaya mendidik karakter yang kuat dan teguh. Celakanya, muncul pula kecenderungan guru dalam memberi atribut atau julukan yang negatif pada anak dikaitkan dengan kelemahan anak dalam hal gerak atau dengan kondisi fisik anak itu sendiri. Tidak jarang, misalnya, guru menyebut anak dengan panggilan yang kurang pantas atau sebutan lain yang jauh dari “membangkitkan” self esteem.
      Ancaman mala-praktek program pendidikan jasmani di sekolah nampaknya semakin potensial dalam masa-masa pengimplementasian kurikulum Penjas 2004, yang konon juga disebut sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi. Mayoritas guru Penjas hingga kini masih belum mengetahui secara komprehensif tentang pengertian dan implementasi KBK dalam prakteknya. Mereka pun dapat dipastikan belum mengetahui secara jelas makna wilayah pembelajaran (Key Learning Area/KLA) dalam kurikulum 2004, yang dikelompokan menjadi enam (6) kelompok aktivitas, yaitu Aktivitas Permainan dan Olahraga, Aktivitas
Pengembangan, Aktivitas Uji Diri, Aktivitas Ritmik, Aktivitas Akuatik, dan Aktivitas Luar Kelas.
      Demikian juga kasusnya dengan Kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal sebagai Standard Isi atau KTSP. Di samping hanya memasukkan materi kesehatan ke dalam ruang lingkupnya, standar isi inipun tak ubahnya sebagai kurikulum imitasi dari KBK. Tidak ada pembaharuan apapun di dalamnya, di samping lebih memperlebar kemungkinan kebingungan di antara guru-guru.
b. Konsep pendidikan jasmani paradigma baru.
      Merupakan konsep di era repormasi dan globalisasi yang mengubah pendidikan jasmani paradigma lama yang bertujuan agar siswa lebih mandiri, dengan memberikan kebebasan pada siswa untuk melakukan gerak dan melibatkan siswa dalam pembuatan bahan ajar agar sesuai dengan pola gerak siswa dan mencari pola ajar yang lebih menarik agar siswa lebih aktif dan dapat berekspresi dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing.
Menetapkan Skenario Pendidikan Jasmani Masa Depan
Pendidikan jasmani yang bagaimanakah yang ingin dihasilkan di masa depan? Atau, tepatnya, Pendidkan jasmani yang bagaimanakah yang harus dipersiapkan untuk anak-anak kita di masa depan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita berandai-andai tentang peranan apa yang harus dimainkan Pendidikan jasmani sebagai mata pelajaran, dengan membuat sebuah skenario tentang bentuk masyarakat dunia dan Indonesia di masa mendatang. Skenario tersebut diperlukan untuk mencoba merumuskan Pendidikan jasmani secara umum untuk memecahkan persoalan yang akan dihadapi di masa depan.
            Kurikulum Penjas juga memungkinkan anak menguji peranan gerak dalam masyarakat. Mereka belajar permainan, olahraga, dan dansa dari berbagai budaya serta mendiskusikan bagaimana aktivitas tersebut berhubungan dengan konteks historis dan pada aspek budaya lainnya. Anak-anak diminta meneliti pengaruh perkembangan teknologi dan waktu luang dalam abad 21 dikaitkan dengan peranan olahraga (Jewet,et. al; 1995). Mereka mengungkap dan mendiskusikan perbedaan-perbedaan antara pengalaman langsung dari aktivitas gerak dengan pengalaman yang hanya teralami melalui menonton video atau komputer. Anak-anak diminta
menyelidiki konflik dalam situasi olahraga dan mempraktekkan proses negosiasi serta strategi pencarian resolusi masalahnya. Mereka juga mendiskusikan konsep komunitas dan hubungannya dengan berbagai bentuk olahraga dan dansa.
            Menyelidiki konflik dalam situasi olahraga dan mempraktekkan proses negosiasi serta strategi pencarian resolusi masalahnya. Mereka juga mendiskusikan konsep komunitas dan hubungannya dengan berbagai bentuk olahraga dan dansa.
            Siswa yang lebih dewasa mempelajari meditasi, yoga, dan tai chi sebagai cara untuk meningkatkan kesadaran diri yang utuh. Siswa juga berpartisipasi dalam program kebugaran yang dibangun berdasarkan prinsip “belajar menerima dan mempercayai tubuh sendiri”. Daripada bersifat pelatihan formal yang dituntut memenuhi standard eksternal performansi, siswa belajar “mendengar pada tanda-tanda tubuh” sebagai petunjuk kapan dan seberapa kebutuhan untuk makan, latihan, dan istirahat harus dipenuhi. Program ini dilengkapi dengan diskusi tentang bagaimana masyarakat membangun definisi kesehatan dan daya tarik tubuh dan bagaimana individu dapat menciptakan definisi yang sesuai secara pribadi.

2.      Perbedaan dan Persamaan konsep Pendidikan Jasmani dan pendidikan olahraga:
            Membahas olahraga di pendidikan tidak lepas dari pendidikan jasmani dan kesehatan yang digunakan di Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa olahraga dan pendidikan jasmani merupakan dua istilah yang mempunyai satu pengertian yang sama, apabila ada perbedaan hanya pada intensitasnya. Pendapat lain mengatakan berbeda.
            Menurut UNESCO lewat ICSPE Pendidikan jasmani adalah suatu proses pendidikan seseorang sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik melalui berbagai kegiatan jasmani, dalam rangka memperoleh peningkatan kemampuan dan keterampilan jasmani pertumbuhan kecerdasan dan pembentukan watak
Pendidikan Jasmani dan Olahraga merupakan aktivitas fisik dan dapat berupa permainan. Tujuannya tidak sama akan tetapi dalam bagian tertentu menunjukan kaitan satu sama lain
            Berdasarkan  dokumen yang resmi, Pendidikan Jasmani (physical education) digunakan untuk kalangan pendidikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan Olahraga (Sport) untuk kegiatan di luar pendidikan yang berorientasi pada peningkatan prestasi melalui pertandingan dan perlombaan.
a.      Perbedaan Pendidikan Jasmani dan Olahraga
Pendidikan Jasmani
PendidikanOlahraga
*      Pemahaman gerak
*      Berpacu pada satuan kurikulum
*      Subyeknya pelajar
*      Child Centered
*      Pribadi anak seluruhnya
*      Entry Behavior
*      Pengaturan disesuaikan
*      Gerak kehidupan sehari-hari
*      Perhatian ekstra pada anak lamban
*      Tidak mesti bertanding
*      Wajib
*      Diselenggarakan terutama di lingkungan sekolah,
**      Dikelola dibawah Mendiknas

*      Cenderung memasyarakatkan olahraga

*      Untuk meningkkatkan kesegaran jasmani

* Isi Pembelajaran dalam pendidikan jasmani disesuaikan dengan tingkat kemampuan anak didik
*      Prestasi
*      Program Latihan
*      Subyeknya atlet
*      Subject centered
*      Kinerja motorik
*      Talent Scouting
*      Aturan Baku
*      Gerak fungsional cabang
*      Ditinggalkan
*      Selalu bertanding
*      Bebas
*      Di selenggarakan terutama di lingkungan masyarakat.
Olahraga dibawah wewenang Menpora bersama organisasi olahraga di masyarakat
*      Olahraga cenderung mengolahragakan masyarakat
*      Untuk meningkatkan prestasi

*      isi pembelajaran atau isi latihan merupakan target yang harus dipenuhi.


b.      Persamaan:
·         Kesamaan tujuan : Pendidikan jasmani dan olahraga ikut membantu meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia seutuhnya
·         Penekanan tujuan : Pendidikan jasmani menganut prinsip”pendidikan melalui jasmani”,sedangkan olahraga cenderung pada prinsip “pendidikan untuk jasmani”
·         Kesamaan medium yang digunakan : Keduanya menggunakan medium jasmani atau psikomotor.

1.      Karakteristik Play, Games dan Sport
            Untuk penjelasan pengertian olahraga menurut Edward (1973) olahraga harus bergerak dari konsep bermain, games, dan sport.
a.      Play (Bermain)
Ruang lingkup Play (bermain) mempunyai karakteristik antara lain:
Ø  Terpisah dari rutinitas,
Ø  Bebas,
Ø  Tidak produktif,
Ø   Menggunakan peraturan yang tidak baku.
Ø  Dilakukan berdasarkan motivasi instrinsik, berdasarkan keinginan pribadi serta untuk kepentingan pribadi
Ø  Perasaan dari individu yang terlibat dalam kegiatan bermain diwarnai oleh emosi-emosi yang positif.
Ø  Fleksibilitas yang ditandai mudahnya beralih dari satu aktivitas ke aktivitas lain
Ø  Lebih menekankan pada proses yang berlangsung dibandingkan hasil akhir.
Ø  Bebas memilih, dan ciri ini merupakan elemen yang sangat penting bagi konsep bermain pada anak-anak kecil.
Ø  Digunakan sebagai media hiburan
b.      Karakteristik Games ( permainan)
Ø  Sudah ada kompetisi
Ø  Hasil ditentukan oleh keterampilan fisik, strategi, kesempatan
c.       Karakteristik Sport (olahraga)
Ø  Bersifat kompetitif
Ø  Bentuk bermain yang terorganisir
Ø  Lebih spesifik dan mencangkup play dan game
Ø  Permainan yang dilembagakan

Tidak ada komentar: