1.
a.
Konsep pendidikan jasmani paradigma lama
Merupakan konsep yang sifatnya otoriter, guru merupakan sumber
dari segala sesuatu yang berhubungan dengan pengajaran baik dari pembuatan RPP
dan Silabus serta dalam proses ajar mengajar yang cenderung menyuap siswa
secara terus menerus yang dapat mengakibatkan siswa kurang aktif, kreatif dan
manja sehingga siswa tidak mandiri pada saat berada di tingkat yang lebih
tinggi.
Jika kita berkaca pada perspektif sejarah, maka dapat dimaklumi
bahwa kualitas pendidikan jasmani di Indonesia dapat mewujud dalam bentuknya
yang sekarang. Menginterpretasikan konteks sejarah perkembangan pendidikan
jasmani dan olahraga nasional kita, dapat diduga bahwa telah terjadi perubahan
paradigma Pendidikan jasmani di masa lalu, yang terjadi pada tahun 60-an. Kala
itu, para founding fathers bangsa kita mencoba memanfaatkan olahraga sebagai alat
strategis dan sekaligus politis untuk keluar dari rasa rendah diri kolektif
sebagai bangsa yang baru merdeka setelah sekian abad terjajah dan terbodohkan
secara sistematis. Keyakinan yang berkembang adalah bahwa olahraga dapat
menjadi bukti bahwa bangsa kita memiliki potensi dan kemampuan yang sama dengan
bangsa lain, yang ditunjukkan melalui bisa berkiprahnya bangsa Indonesia dalam
berbagai event olahraga regional dan internasional.
Dengan kepercayaan tersebut, tidak pelak, penjas di
sekolah-sekolah pun diubah paradigmanya, bukan lagi sebagai alat pendidikan,
melainkan dipertajam menjadi alat untuk membantu gerakan olahraga sebagai
penegak postur bangsa, agar lebih banyak lagi bibit-bibit atlet yang bisa
dipersiapkan. Akibatnya, seperti yang dapat kita saksikan sekarang, Penjas kita
lebih bernuansa pelatihan olahraga daripada sebagai proses sosialisasi dan
mendidik anak melalui olahraga. Demikian kuatnya paradigma pelatihan olahraga
dalam Penjas kita, sehingga dewasa ini paradigma tersebut masih kuat digenggam
oleh para guru Penjas. Dalam kondisi demikian, pembelajaran sering berubah
menjadi aktivitas yang dalam kategori Sue Bredekamp (1993) merupakan program
yang Undevelopmentally Appropriate Practice (UAP), padahal yang seharusnya
berlangsung adalah program yang Developmentally Appropriate Practice (DAP).
Dengan paradigma yang salah tersebut, program olahraga dalam
pelajaran pendidikan jasmani lebih menekankan pada harapan agar program
tersebut berakhir pada terpetiknya manfaat pembibitan usia dini. Alasannya
cukup jelas, pendeknya penggunaan olahraga di sekolah bukanlah dipandang
sebagai alat pedagogis, melainkan lebih dihargai sebagai alat sosialisasi
olahraga kepada siswa. Sebagai konsekuensinya, ruang lingkup pendidikan jasmani
menjadi menyempit; seolah-olah terbatas pada program memperkenalkan anak pada
cabang, Ketika guru menggeser pola pembelajaran menjadi pola pelatihan, maka
tugas gerak dan ukuran-ukuran keberhasilannya pun bergeser menjadi keterampilan
dengan kriteria yang formal, kaku, dan tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan anak. Dalam kondisi tersebut, guru hanya menetapkan satu kriteria
keberhasilan, yaitu ketika gerakan yang dilakukan anak sesuai dengan
kaidah-kaidah teknik dasar yang sudah dibakukan. Hanya sedikit anak yang biasanya
mampu menguasai keterampilan dengan kriteria tersebut, sehingga anak yang lain
masuk ke dalam kelompok yang gagal. Akibatnya, dalam banyak proses
pembelajaran, anak akan lebih banyak merasakan pengalaman gagal daripada
pengalaman berhasil (feeling of success).
Secara tidak disadari, profil guru Penjas pun berubah dari yang
semula santun dan bersifat mengasuh, bergeser menjadi profil keras dan angker
serta menyepelekan kepribadian anak (Mahendra, 2006). Banyak guru yang percaya
bahwa pembelajaran olahraga harus berlangsung dalam suasana keras, bahkan
cenderung kasar, karena diyakini termasuk upaya mendidik karakter yang kuat dan
teguh. Celakanya, muncul pula kecenderungan guru dalam memberi atribut atau
julukan yang negatif pada anak dikaitkan dengan kelemahan anak dalam hal gerak
atau dengan kondisi fisik anak itu sendiri. Tidak jarang, misalnya, guru
menyebut anak dengan panggilan yang kurang pantas atau sebutan lain yang jauh
dari “membangkitkan” self esteem.
Ancaman mala-praktek program pendidikan jasmani di sekolah
nampaknya semakin potensial dalam masa-masa pengimplementasian kurikulum Penjas
2004, yang konon juga disebut sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi. Mayoritas
guru Penjas hingga kini masih belum mengetahui secara komprehensif tentang
pengertian dan implementasi KBK dalam prakteknya. Mereka pun dapat dipastikan
belum mengetahui secara jelas makna wilayah pembelajaran (Key Learning
Area/KLA) dalam kurikulum 2004, yang dikelompokan menjadi enam (6) kelompok
aktivitas, yaitu Aktivitas Permainan dan Olahraga, Aktivitas
Pengembangan, Aktivitas
Uji Diri, Aktivitas Ritmik, Aktivitas Akuatik, dan Aktivitas Luar Kelas.
Demikian juga kasusnya dengan Kurikulum 2006 atau yang lebih
dikenal sebagai Standard Isi atau KTSP. Di samping hanya memasukkan materi
kesehatan ke dalam ruang lingkupnya, standar isi inipun tak ubahnya sebagai
kurikulum imitasi dari KBK. Tidak ada pembaharuan apapun di dalamnya, di
samping lebih memperlebar kemungkinan kebingungan di antara guru-guru.
b.
Konsep pendidikan jasmani paradigma baru.
Merupakan
konsep di era repormasi dan globalisasi yang mengubah pendidikan jasmani
paradigma lama yang bertujuan agar siswa lebih mandiri, dengan memberikan
kebebasan pada siswa untuk melakukan gerak dan melibatkan siswa dalam pembuatan
bahan ajar agar sesuai dengan pola gerak siswa dan mencari pola ajar yang lebih
menarik agar siswa lebih aktif dan dapat berekspresi dengan tujuan untuk
meningkatkan daya saing.
Menetapkan Skenario
Pendidikan Jasmani Masa Depan
Pendidikan
jasmani yang bagaimanakah yang ingin dihasilkan di masa depan? Atau, tepatnya,
Pendidkan jasmani yang bagaimanakah yang harus dipersiapkan untuk anak-anak
kita di masa depan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita
berandai-andai tentang peranan apa yang harus dimainkan Pendidikan jasmani
sebagai mata pelajaran, dengan membuat sebuah skenario tentang bentuk
masyarakat dunia dan Indonesia di masa mendatang. Skenario tersebut diperlukan
untuk mencoba merumuskan Pendidikan jasmani secara umum untuk memecahkan
persoalan yang akan dihadapi di masa depan.
Kurikulum
Penjas juga memungkinkan anak menguji peranan gerak dalam masyarakat. Mereka
belajar permainan, olahraga, dan dansa dari berbagai budaya serta mendiskusikan
bagaimana aktivitas tersebut berhubungan dengan konteks historis dan pada aspek
budaya lainnya. Anak-anak diminta meneliti pengaruh perkembangan teknologi dan
waktu luang dalam abad 21 dikaitkan dengan peranan olahraga (Jewet,et. al;
1995). Mereka mengungkap dan mendiskusikan perbedaan-perbedaan antara
pengalaman langsung dari aktivitas gerak dengan pengalaman yang hanya teralami
melalui menonton video atau komputer. Anak-anak diminta
menyelidiki konflik dalam situasi
olahraga dan mempraktekkan proses negosiasi serta strategi pencarian resolusi
masalahnya. Mereka juga mendiskusikan konsep komunitas dan hubungannya dengan
berbagai bentuk olahraga dan dansa.
Menyelidiki
konflik dalam situasi olahraga dan mempraktekkan proses negosiasi serta
strategi pencarian resolusi masalahnya. Mereka juga mendiskusikan konsep
komunitas dan hubungannya dengan berbagai bentuk olahraga dan dansa.
Siswa
yang lebih dewasa mempelajari meditasi, yoga, dan tai chi sebagai cara untuk
meningkatkan kesadaran diri yang utuh. Siswa juga berpartisipasi dalam program
kebugaran yang dibangun berdasarkan prinsip “belajar menerima dan mempercayai
tubuh sendiri”. Daripada bersifat pelatihan formal yang dituntut memenuhi
standard eksternal performansi, siswa belajar “mendengar pada tanda-tanda
tubuh” sebagai petunjuk kapan dan seberapa kebutuhan untuk makan, latihan, dan
istirahat harus dipenuhi. Program ini dilengkapi dengan diskusi tentang
bagaimana masyarakat membangun definisi kesehatan dan daya tarik tubuh dan
bagaimana individu dapat menciptakan definisi yang sesuai secara pribadi.
2.
Perbedaan
dan Persamaan konsep Pendidikan Jasmani dan pendidikan olahraga:
Membahas olahraga di pendidikan tidak lepas dari pendidikan jasmani dan
kesehatan yang digunakan di Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa olahraga
dan pendidikan jasmani merupakan dua istilah yang mempunyai satu pengertian
yang sama, apabila ada perbedaan hanya pada intensitasnya. Pendapat lain
mengatakan berbeda.
Menurut UNESCO
lewat ICSPE Pendidikan jasmani adalah suatu proses pendidikan seseorang
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar
dan sistematik melalui berbagai kegiatan jasmani, dalam rangka memperoleh
peningkatan kemampuan dan keterampilan jasmani pertumbuhan kecerdasan dan
pembentukan watak
Pendidikan Jasmani dan Olahraga merupakan aktivitas fisik
dan dapat berupa permainan. Tujuannya tidak sama akan tetapi dalam bagian
tertentu menunjukan kaitan satu sama lain
Berdasarkan dokumen yang resmi, Pendidikan Jasmani (physical
education) digunakan untuk kalangan pendidikan sebagai alat untuk mencapai
tujuan pendidikan. Sedangkan Olahraga (Sport) untuk kegiatan di luar pendidikan
yang berorientasi pada peningkatan prestasi melalui pertandingan dan perlombaan.
a. Perbedaan Pendidikan Jasmani dan
Olahraga
Pendidikan Jasmani
|
PendidikanOlahraga
|
Pemahaman gerak
Berpacu pada satuan kurikulum
Subyeknya pelajar
Child Centered
Pribadi anak seluruhnya
Entry Behavior
Pengaturan disesuaikan
Gerak kehidupan sehari-hari
Perhatian ekstra pada anak lamban
Tidak mesti bertanding
Wajib
Diselenggarakan terutama di lingkungan sekolah,
Cenderung memasyarakatkan olahraga
Untuk meningkkatkan kesegaran jasmani
Isi
Pembelajaran dalam pendidikan jasmani disesuaikan dengan tingkat kemampuan
anak didik
|
Prestasi
Program
Latihan
Subyeknya atlet
Subject centered
Kinerja motorik
Talent Scouting
Aturan Baku
Gerak fungsional cabang
Ditinggalkan
Selalu bertanding
Bebas
Di selenggarakan terutama di lingkungan
masyarakat.
Olahraga dibawah wewenang Menpora bersama
organisasi olahraga di masyarakat
Olahraga cenderung mengolahragakan masyarakat
Untuk meningkatkan prestasi
isi pembelajaran atau isi latihan
merupakan target yang harus dipenuhi.
|
b. Persamaan:
·
Kesamaan tujuan : Pendidikan jasmani dan
olahraga ikut membantu meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia seutuhnya
·
Penekanan tujuan : Pendidikan jasmani
menganut prinsip”pendidikan melalui jasmani”,sedangkan olahraga cenderung pada
prinsip “pendidikan untuk jasmani”
·
Kesamaan medium yang digunakan : Keduanya
menggunakan medium jasmani atau psikomotor.
1.
Karakteristik
Play, Games dan Sport
Untuk penjelasan pengertian olahraga
menurut Edward (1973) olahraga harus bergerak dari konsep bermain, games, dan
sport.
a.
Play
(Bermain)
Ruang
lingkup Play (bermain) mempunyai karakteristik antara lain:
Ø Terpisah
dari rutinitas,
Ø Bebas,
Ø Tidak
produktif,
Ø Menggunakan peraturan yang tidak baku.
Ø Dilakukan
berdasarkan motivasi instrinsik, berdasarkan keinginan pribadi serta untuk
kepentingan pribadi
Ø Perasaan
dari individu yang terlibat dalam kegiatan bermain diwarnai oleh emosi-emosi
yang positif.
Ø Fleksibilitas
yang ditandai mudahnya beralih dari satu aktivitas ke aktivitas lain
Ø Lebih
menekankan pada proses yang berlangsung dibandingkan hasil akhir.
Ø Bebas
memilih, dan ciri ini merupakan elemen yang sangat penting bagi konsep bermain
pada anak-anak kecil.
Ø Digunakan
sebagai media hiburan
b.
Karakteristik
Games ( permainan)
Ø Sudah
ada kompetisi
Ø Hasil
ditentukan oleh keterampilan fisik, strategi, kesempatan
c.
Karakteristik
Sport (olahraga)
Ø Bersifat
kompetitif
Ø Bentuk
bermain yang terorganisir
Ø Lebih
spesifik dan mencangkup play dan game
Ø Permainan
yang dilembagakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar